WASPADA! FLU SINGAPURA RENTAN TEHADAP ANAK-ANAK

Flu merupakan penyakit yang dianggap sebagai hal biasa pada kalangan manusia. Penyakit yang sebenarnya diakibatkan oleh virus ini bahkan disepelekan karena mungkin pengobatannya yang sederhana dan sedikit hilang sedikit datang lagi. Namun lain dengan flu Singapura, flu tersebut lebih rentan menyerang anak-anak. Gambar di atas merupakan akibat dari terjangkitnya dari flu Singapura. Dilansir dari BBC News Indonesia pada 3 April 2024 sebanyak 5.461 kasus flu Singapura yang terdeteksi di Indonesia sejak Januari hingga Maret 2024 menurut data Kementerian Kesehatan. Dokter spesialis anak Hendy Hartoyo dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengatakan flu Singapura secara umum tergolong ringan dan dapat sembuh dengan sendirinya akan tetapi dengan adanya momen mudik lebaran berpotensi mempercepat penyebarannya terutama di kalangan bayi dan balita.

Sebenarnya, apa sih flu Singapura itu?

Penyakit Flu Singapura atau dalam bahasa kedokteran disebut sebagai penyakit Hand, Foot and Mouth Disease (HFMD) merupakan penyakit infeksi yang seringkali menyerang anak-anak usia 2 minggu sampai 5 tahun (bahkan hingga 10 tahun). Orang dewasa umumnya kebal terhadap penyakit yang mempunyai masa inkubasi 2-5 hari. Flu Singapura merupakan penyakit infeksi virus yang biasanya terjadi pada anak-anak dan sering kali disebabkan oleh Coxsackievirus A 16 (CVA16) dan Enterovirus 71 (EV-71). Virus ini dapat ditularkan lewat jalur oral dan fekal (Nabila dkk., 2024).

Coxsackievirus A16 (CVA16) adalah salah satu patogen utama yang menyebabkan penyakit tangan, kaki, dan mulut pada bayi dan anak kecil. Sebagian pasien penyakit tangan, kaki, dan mulut yang terinfeksi CVA16 mungkin mengalami ensefalitis, miokarditis, dan pneumonitis, yang pada beberapa kasus bisa berakibat fatal. Upaya telah dilakukan untuk pengembangan vaksin CVA16 (Zhang dkk., 2017).

CVA16 adalah virus tak berselubung yang termasuk dalam genus Enterovirus dari keluarga Picornaviridae. Virus ini mengandung genom RNA beruntai positif dengan panjang 7,4 kb,yang dikemas dalam cangkang protein bulat yang terdiri dari 60 salinan masing-masing protein subunit VP1, VP2, VP3 dan VP4. Penelitian terbaru telah mengidentifikasi reseptor pemulung manusia B2 (SCARB2) sebagai reseptor uncoating untuk EV71 dan CVA16. Namun, reseptor EV71 lainnya, P- selectin glikoprotein ligan-1, yang memfasilitasi infeksi EV71 pada sel Jurkat T, tidak mendukung infeksi CVA16 pada garis sel yang sama. Masih belum diketahui apakah koreseptor lain diperlukan untuk infeksi CVA16 yang efisien secara in vitro dan in vivo (Zhang dkk., 2017).

Penempelan pada sel yang rentan adalah langkah pertama dalam proses masuknya virus. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pengikatan awal sejumlah virus yang terbungkus dan tidak terbungkus ke dalam sel difasilitasi oleh glikosaminoglikan (GAGs) pada permukaan sel. Secara khusus, telah dilaporkan bahwa GAG spesifik heparan sulfat berfungsi sebagai reseptor perlekatan untuk beberapa picornavirus, termasuk echovirus, human rhinovirus, enterovirus 71, coxsackievirus B3 dan A924, dan penyakit mulut dan kuku. Namun, masih belum diketahui apakah heparan sulfat juga memediasi perlekatan/masuknya CVA16. (Zhang dkk., 2017).

Penelitian tentang model epidemik tentang penyebaran penyakit telah banyak dilakukan guna mencegah penyebaran penyakit menular, terdapat salah satu penelitian yang telah menganalisa penyakit HFMD berdasarkan model SIR. Dalam penelitian tersebut, belum dijelaskan mengenai populasi individu yang sebenarnya telah terinfeksi penyakit namun belum menunjukkan gejala-gejala penyakit. Penelitian tentang model epidemik juga dilakukan oleh peneliti lain dimana jurnalnya menjelaskan tentang modelling of Hand Foot and Mouth Disease: Quarantine as a control Measure. Selanjutnya dalam jurnal lain ada juga yang menganalisa penyakit HFMD berdasarkan model SEIRS dengan penelitiannya, populasi individu yang sebenarnya telah terinfeksi penyakit tetapi belum menunjukkan gejala-gejala penyakit akan berada pada kelas tersendiri yaitu kelas E. Kemudian, penderita yang telah sembuh dapat kembali rentan terhadap penyakit HFMD (Suryani dan Ariad, 2018).

Gejala flu singapura adalah sakit pada mulut, dan ruam di tangan dan kaki. Kelompok yang paling beresiko terserang virus ini adalah anak-anak. Penyakit ini juga dapat menyerang orang dewasa, khususnya mereka dengan tingkat kekebalan tubuh yang rendah. Gelaja HFMD sama seperti flu yaitu demam, nyeri tenggorokaan, nyeri telan, tidak enak badan dan nafsu makan berkurang. Setelah beberapa hari dapat timbul sariawan pada rongga mulut dan ruam pada telapak tangan dan kaki serta dapat disertai bentol-bentol yang berair. Penderita HFMD dapat menularkan virus melalui cairan hidung dan tenggorokan, cairan dari lenting yang pecah, maupun feses. Orang dengan HFMD sangat menular dalam 1 minggu pertama dan dapat terjadi beberapa hari hingga minggu setelah sembuh bahkan tanpa gejala (Sari dkk., 2022).

Selain itu, penularannya bisa melalui udara, serta kontak langsung dengan cairan yang keluar dari tubuh orang yang terinfeksi, seperti air liur, cairan lepuhan, dan feses. Kebanyakan kasus flu Singapura dapat sembuh dengan sendirinya dengan masa inkubasi 3-6 hari. Akan tetapi, keterlambatan dalam memberikan diagnosa dan pengobatan yang tepat akan menyebabkan berbagai komplikasi yang serius seperti ensefalitis, meningitis, dan kelumpuhan, yang bisa berakibat fatal sampai menyebabkan kematian. Saat ini flu Singapura menjadi masalah kesehatan yang penting untuk diatasi karena kasusnya masih mengalami peningkatan. Data kasus yang dilaporkan World Health Organization (WHO) pada tahun 2018 relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kasus-kasus yang dilaporkan pada 5 tahun sebelumnya. Diketahui lebih dari 25.000 kasus telah dilaporkan sejak bulan Januari hingga Juli 2018. Sementara itu, pola penyebaran flu Singapura juga sangat dipengaruhi oleh iklim dan cuaca. Negara yang beriklim tropis dan beriklim sedang akan sangat mendukung penyebaran penyakit menular seperti flu Singapura (Nabila dkk., 2024).

Beberapa daerah di Indonesia telah melaporkan peristiwa flu Singapura. Pada tahun 2022, Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR) Dinkes provinsi Gorontalo melaporkan 24 penyakit yang dapat menjadi wabah yang harus dilaporkan setiap minggu, termasuk 38 kasus yang diduga flu Singapura per Juli 2022. Hal yang sama juga terjadi pada Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR) Dinkes kota Yogyakarta pada tahun 2023, dengan 30 kasus per Maret 2023 Di Provinsi Riau sendiri, pada tahun 2020 terdapat 3 kasus flu Singapura pada anak-anak dari 2 kecamatan di Kota Pekanbaru. Namun, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau menyatakan bahwa kasus ini masih menjadi spekulasi, sehingga data tidak dikategorikan sebagai kejadian luar. Ada beberapa rumor kasus flu Singapura ini pasti dapat menjadi peringatan bagi masyarakat, termasuk orang tua, terutama para ibu, untuk menjadi lebih waspada terhadap penyakit tersebut. Selain itu, ibu harus bertindak untuk mencegah dan mendeteksi flu Singapura sejak dini. Selain itu, infeksi ini menyebar dengan cepat pada anak-anak, sebagian besar menginfeksi balita atau anak di bawah lima tahun. Sistem kekebalan tubuh anak-anak masih lemah, yang menyebabkan hal penyebaran virus terjadi. Sebuah penelitian yang dilakukan menemukan bahwa pengetahuan kesehatan ibu yang rendah adalah salah satu faktor risiko yang menyebabkan lebih banyak kasus flu Singapura pada anak. Hal demikian disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan kesadaran ibu (Nabila dkk., 2024).

Anak akan berada dalam bahaya jika ibu tidak tahu tentang penyakit ini. Seperti yang diketahui, gejala awal flu Singapura mirip dengan flu biasa, seperti demam, rasa tidak enak badan, dan nyeri tenggorokan. Selain itu, karena luka pada kulit, terutama pada tangan, kaki, dan mulut anak-anak, gejala ini juga dapat menyerupai campak, sariawan, dan skabies. Gejala tersebut sering membuat ibu salah menduga penyakit anaknya. Ibu bahkan bisa berpikir bahwa penyakit anaknya adalah penyakit biasa, yang dapat menyebabkan salah penanganan yang berujung pada komplikasi dan kematian anak (Nabila dkk., 2024).

Dalam menghadapi flu Singapura, edukasi dan kesadaran tentang penyakit ini sangat penting. Pengetahuan ibu tentang gejala, penularan, dan pencegahan dapat membantu dalam mencegah penyebaran penyakit ini. Deteksi dini dan tindakan pencegahan yang tepat juga harus dilakukan untuk melindungi anak-anak dari komplikasi yang berbahaya. Dalam situasi yang sama, upaya pencegahan dan pendidikan diri utama dalam menghadapi flu Singapura.


REFERENSI
Nabila, F., G. Indriati, dan T. H. Sari. 2024. Gambaran pengetahuan ibu dalam pencegahan penularan flu Singapura pada anak balita. Jurnal keperawatan profesional 12 (1): 1-18.

Sari, D. P., A. Rahayu, A. W. Mukti, N. Febriyanti, M. I. Choliq, E. Fitria, dan L. M. I. Suwarso. 2022. Peningkatan pengetahuan guna pencegahan Hand, Food, Mouth Disease (HFMD) atau flu Singapura. Jurnal abdimas: Community Health 3(2) : 63-69.

Suryani, I. dan F. Ariad. 2018. Analisis kestabilan model Seirs pada penyebaran penyakit flu Singapura (hand food and mouth disease) dengan Saturated Insiden Rate. Jurnal sains matematika dan statistika 4(2): 63-73.

Zhang, X., J. Shi, X. Ye, Z. Ku, C. Zhang, Q. Liu, dan Z. Huang. 2017. Coxsackievirus A16 menggunakan glikosaminoglikan heparan sulfat permukaan sel sebagai reseptor perlekatannya. Emerging Microbes & Infections 6(7):1-7.

 

Powered by Divisi Litbang