KRISIS IKLIM DAN ANCAMAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN BIODIVERSITAS

          Iklim selalu bersifat dinamis bergantung perubahan kondisi fisik atmosfer bumi yang meliputi
suhu dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan
manusia (Kementerian Lingkungan Hidup, 2001). Perubahan fisik ini tidak terjadi hanya sesaat tetapi
dalam kurun waktu yang panjang. LAPAN (2002) mendefinisikan perubahan iklim adalah perubahan
rata-rata salah satu atau lebih elemen cuaca pada suatu daerah tertentu. Sedangkan istilah perubahan
iklim skala global adalah perubahan iklim dengan acuan wilayah bumi secara keseluruhan. IPCC
(2001) menyatakan bahwa perubahan iklim merujuk pada variasi rata-rata kondisi iklim suatu tempat
atau pada variabilitasnya yang nyata secara statistik untuk jangka waktu yang panjang (biasanya
dekade atau lebih).

Negara adidaya seperti Amerika Serikat yang memproduksi 28% gas rumah kaca hanya
mempunyai penduduk sebanyak 5% dari penduduk dunia. Kemampuan suatu negara atau wilayah
untuk menangani perubahan iklim bergantung pada tingkat kekayaan, teknologi dan infrastukturnya.
Negara dengan tingkat pendapatan menengah kebawah, tidak memiliki industri, transportasi, atau
sistem pertanian yang intensif memiliki kemampuan terbatas untuk melindungi diri sendiri terhadap
konsekuensi yang merusak dari perubahan iklim. Misalnya seperti kenaikan permukaan air laut akan
mengancam Bangladesh dan pulau-pulau kecil di Samudra Pasifik. Sehubungan dengan hal itu,
perubahan iklim merupakan tantangan untuk keadilan lingkungan dan Kesehatan (Keman, 2007).

Menurut laporan IPCC (Intergovernmental on Panel Climate Change) suhu global rata-rata
akan meningkat dengan laju 0,3 derajat Celsius per dasawarsa. Suhu global rata-rata tahun 1890
adalah 14,5 derajat Celsius dan pada tahun 1980 naik menjadi 15,2 derajat Celsisperkirakan untuk
tahun 2030 hingga 2050 suhu global rata-rata naik 1,50 sampai dengan 4,5 derajat Celsius (Fadilah,
2008). BMKG mencatat bahwa Indonesia sempat mengalami anomaly suhu. Pada Maret 2022, suhu
rata-rata Indonesia adalah 27,1 derajat celcius atau 0,3 oC lebih panas daripada rata-rata suhu pada
1991-2020. Anomali suhu udara itu merupakan yang tertinggi ke-9 sejak 1981 (Science Direct, 2022).
Sejumlah peneliti terkemuka telah memperingatkan, seluruh Indonesia akan terus mengalami
fenomena kenaikan suhu sekitar 0,96-1,27 oC hingga 2059. Krisis iklim ini juga akan menyebabkan
curah hujan berkurang 25% di Jawa, Sumatera, Bali, dan Nusa Tenggara. Di sisi lain, curah hujan
akan meningkat 10-20% di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Hal tersebut berarti Sebagian wilayah
Indonesia akan terancam kekeringan, sedangkan wilayah lainnya lebih berisiko mengalami banjir di
masa depan. Suhu yang memanas di seluruh Indonesia juga dapat memnyebabkan berbagai kejadian
ekstrem, seperti kekeringan, lendir laut, dan pemutihan karang (bleaching). Bukti terjadinya krisis
iklim yang melanda dunia antara lain terjadinya gelombang panas di India pada April-Mei 2022;
banjir yang menerjang pasokan minyak goreng di Malaysia; dan kekeringan yang melanda Kanada
dan Amerika Selatan pada 2021 berdampak terhadap kegiatan ekonomi masyarakat. Bahkan, Jakarta
telah menjadi kota paling tercemar di dunia pada 14-16 Juni 2022 akibat partikel PM 2,5 dari pabrik
dan PLTU yang beroperasi dengan membakar batu bara (Greenpeace, 2022).

Krisis iklim kini sudah menjadi ancaman bukan hanya bagi manusia tetapi juga terhadap
keanekaragaman hayati di dunia. Peningkatan suhu menyebabkan durasi musim kemarau lebih
Panjang dari biasanya. Hal ini juga meningkatkan ancaman kebakaran hutan di Indonesia. Kebakaran
hutan menjadi peristiwa berulang di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan (KLHK), kebakaran hutan dan lahan terjadi tiap tahun. Pada tahun 2021, luas lahan
terbakar mencapai 353 ribu hectare, meningkat dibanding pada tahun sebelumnya yaitu seluas 296
ribu hectare. Selain itu, ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang nyaris terus muncul
berulang ini kerap terjadi Kalimantan Barat, Kalimantan tengah, dan Sumatera, tetapi dengan adanya
anomaly cuaca yang menyebabkan kemarau yang sangat kering dapat mengancam wilayah lainnya,
seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur. Menurut Direktur pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
KLHK, Basar Manullang, telah terjadi penurunan curah hujan di Sebagian wilayah Sumatera dan
provinsi lain. Selain itu, wilayah Indonesia diprediksi akan memasuki masa kering pada Mei atau Juni
mendatang. Potensi menurunnya curag hujan tersebut diprediksi dapat menyebabkan kerawanan
kebakaran hutan dan lahan di berbagai wilayah. Dalam dua tahun terakhir, meski saat musim La Nina,
kebakaran hutan dan lahan masih terjadi. Bahkan, berdasarkan pemantauan yang dilakukan
Greenpeace (2022), kebakaran berulang juga terjadi di beberapa lahan milik perusahaan. Bahkan, bila
musim panas kian berlangsung saat El Nino, karhutla yang terjadi dapat lebih besar dari kebakaran
pada 2019 dan 2015.

Pemanasan suhu bumi, kenaikan batasan air laut, terjadinya banjir dan juga badai karena
perubahan iklim akan membawa perubahan besar pada habitat sebagai rumah alami bagi berbagai
spesies binatang, tanaman, dan berbagai organisme lain. Perubahan habitat akan menyebabkan
punahnya berbagai spesies, baik binatang maupun tanaman, seperti pohon-pohon besar di hutan
yang menjadi penyerap utama karbondioksida. Hal ini disebabkan karena mereka tidak sempat
beradaptasi terhadap perubahan suhu dan perubahan alam yang terjadi terlalu cepat. Punahnya
berbagai spesies ini, akan berdampak lebih besar lagi pada ekosistem dan rantai makanan.

Kerusakan fisik terhadap biodiversitas perairan secara nyata dapat dilihat dari
meningkatnya kerusakan terhadap ekosistem terumbu karang. Salah satu contohnya yaitu
kerusakan terumbu karang di Pulau Sonit di Kepulauan Banggai. Kerusakan fisik terhadap struktur
terumbu karang meningkatkan kerawanan ekosistem pulau kecil ini yang memiliki elevasi sangat
rendah. Termasuk secara khusus kerentanan terhadap peningkatan paras air laut maupun
peningkatan severitas badai tropis dan energi ombak. Berdasarkan konteks adaptasi pada dan
mitigasi dampak perubahan iklim, sangat penting mempertahankan dan memulihan terumbu
karang sebagai ekosistem pelindung, bersinergi dengan padang lamun dan hutan mangrove (Moore
et al., 2018). Wilkinson et al (1993) memperkirakan bahwa 60% terumbu karang di Asia Tenggara
telah mengalami kerusakan dan diperkirakan jika tidak ada usaha konservasi yang nyata, maka
ekosistem tersebut akan punah dalam 40 tahun mendatang. Dalam penelitian tentang ekosistem
terumbu karang di Jepang, kerusakan terumbu karang telah menyebabkan 37% jenis yang berisiko
tinggi punah secara regional dan 29% jenis berisiko punah secara global

Berbagai kejadian ekstrem akibat perubahan iklim baru-baru ini berdasarkan laproan
greenpeace (2022) antara lain bencana hidrometeorologi terkait krisis iklim yang bertambah 278
kejadian sejak 13 Mei hingga 12 Juni 2022. Selain itu, bencana banjir rob yang setidaknya
menggenangi 20 kabupaten/kota di daerah pantai utara pulau Jawa, tepatnya di Jawa Barat, Jawa
Tengah, dan Jawa Timur pada 23-25 Mei 2022. Bencana alam juga terjadi di wilayah hutan,
dimana telah terjadi 18 kali kebakaran hutan dan lahan sejak 13 Mei 2022. Kebakaran hutan dan
lahan (karhutla) meluas hingga 33.525 hektare (ha) di seluruh Indonesia sejak awal 2022. Selain
itu, putting belium yang melanda Bandung, Depok, Kulon Progo, Pulau Buru, dan Tangerang
sepanjang Mei-Juni 2022. Bencana banjir yang menerjang sebanyak 107 kali, sedangkan longsor
terjadi 57 kali di seluruh Indonesia sejak 13 Mei 2022. Krisis iklim juga berdampak terhadap
petani cabai di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara yang terancam
gagal panen akibat meningkatnya curah hujan dan serangan hama.

Langkah pemerintah dalam upaya menanggulangu krisis iklim antara lain menggiatkan
program-program yang berkaitan dengan perubahan iklim. APBN masih menjadi instrumen
yang luar biasa penting bagi pendanaan program mengatasi perubahan iklim di Indonesia. Salah
satu inovasi yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan berupa penerbitan surat utang negara
atau sukuk yang berbasis pada program pengentasan atau pengurangan perubahan rumah kaca
atau dikenal sebagai green bonds. Selain pendanaan melalui APBN, Indonesia juga memiliki
kebijakan lain dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Kebijakan itu antara lain
pembentukan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup dan SDG Indonesia One yang
bertujuan mempertemukan berbagai kegiatan maupun perubahan iklim dengan sumber dananya
baik dari APBN, mitra pembangunan, badan usaha, filantropis, individu dan lembaga
multilateral. Kemudian dalam bidang perpajakan, pemerintah memberikan kebijakan tax
holiday guna mendukung investasi baru untuk pengembangan dan membangun energi
terbarukan serta perbedaan tarif PPNBM kendaraan berdasarkan emisi CO2. Pengendalian
perubahan iklim di Indonesia memerlukan proses nasional dan internasional yang bersifat
iteratif dan sinergis. Penanganan perubahan iklim di tingkat internasional yang dibahas melalui
kerangka kerja konvensi perubahan iklim (UNFCCC) yang dihasilkan melalui proses negosiasi
para negara pihak yang sudah meratifikasi kesepakatan UNFCCC yang saat ini berjumlah 194
negara, dan bersifat mengikat. Indonesia telah meratifikasi UNFCCC dengan Undang Undang
No. 6 Tahun 1994, dan meratifikasi kesepakatan Kyoto Protokol melalui UU No. 17 Tahun
2007.

Program penanganan perubahan iklim dalam kerangka pembangunan berkelanjutan meliputi
tiga pilar yaitu: pilar lingkungan, pilar ekonomi, dan pilar sosial sebagaimana diilustrasikan dalam
Gambar di atas. Gambar tersebut menekankan bahwa penanganan perubahan iklim bukan hanya
upaya penurunan dan pencegahan emisi atau peningkatan cadangan karbon tetapi ada manfaat non
karbon yang perlu diperhitungkan seiring dengan manfaat penurunan emisi.

Kapankah krisis iklim ini akan berpengaruh terhadao spesies? Bagaimana iklim dapat
memengaruhi biodiversitas? Dikutip dari theconversation.com banyak ekosistem local semakin
terancam akibat paparan bahaya perubahan iklim, dibuktikan dengan persentase penurunan jumlah
populasi bioduversitas local. Hilangnya biodiversitas secara mendadak akibat perubahan iklim
memberikan ancaman yang signifikan bagi kesejahteraan manusia. Alam sudah membunyikan tanda
bahaya, kita hanya perlu rendah hati mendengar dan berubah agar kerusakan tidak semakin parah.
Perlindungan hutan dan penghentian pembangunan PLTU adalah kunci agar krisis iklim tidak terus
memburuk. Aksi iklim adalah keharusan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Fadilah, M. S. 2008. Pemanasan global, faktor penyebab, dampak, dan solusi. Jurnal Pelangi Ilmu.
1(1): 1-15.

Perubahan iklim menyebabkan hilangnya biodiversitas secara mendadak pada abad ini (theconversation.com) [Diakses pada 13 Juni 2022]

PERUBAHAN IKLIM (CLIMATE CHANGE) | Dinas Lingkungan Hidup (bulelengkab.go.id) [Diakses pada 13 Juni 2022]

Ini Upaya Pemerintah Tangani Isu Perubahan Iklim (kemenkeu.go.id) [Diakses pada 13 Juni 2022]

Kebijakan Penanganan Perubahan di Tingkat Nasional dan Internasional – Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (menlhk.go.id) [Diakses pada 13 Juni 2022]

Keman, S. 2007. Perubahan iklim global, kesehatan manusia dan pembangunan berkelanjutan. Jurnal
Kesehatan Lingkungan Unair. 3(2): 3934.

Moore, A., S. Ndobe, A. I. M. Salanggon, dan D. Wahyudi. 2018. Coral Reefs of Sonit Island,
Banggai Archipelago: Biodiversity and Management Issues-Ekosistem Terumbu Karang Di
Pulau Sonit, Kepulauan Banggai: Biodiversitas Dan Isu-isu Pengelolaan.

Supriatna, J. 2018. Konservasi Biodiversitas: Teori dan Praktik di Indonesia. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia.