Banjir Melanda Jember : Apa Penyebab dan Dampaknya?

LINK VIDEO LITWORLD #1 : https://youtu.be/SFTO11TkpIQ

            Apa itu banjir?

Banjir merupakan suatu fenomena tanah digenangi air akibat luapan air sungai, yang biasanya dipicu oleh  hujan deras atau banjir kiriman dari tempat lain dengan ketinggian melebihi daerah di bawahnya. Banjir dapat datang sewaktu-waktu tanpa terduga dan mengakibatkan banyak kerugian. Bencana banjir tidak dapat dicegah, tetapi dapat diminimalisir dampak yang ditimbulkannya. Indonesia memiliki potensi bencana banjir yang sangat besar jika ditinjau dari topografi dataran rendah, cekungan dan sebagian besar wilayahnya merupakan laut. Beberapa tempat di Indonesia, khususnya daerah Jember memiliki potensi banjir yang tinggi.

Apa saja penyebab banjir?

Hujan deras yang mengguyur Kabupaten Jember dari bulan Februari hingga sekarang menjadi faktor utama penyebab terjadinya banjir di daerah penghasil tembakau tersebut. Tercatat ada beberapa kecamatan yang sering terkena banjir yaitu Jelbuk, Kalisat, Patrang, Sumbersari, Kaliwates, Pakusari dan Rambipuji. Menurut Heru Widagdo selaku Kabid Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jember menghimbau bahwa, pemukiman warga yang berada di bantaran sungai Bedadung harus senantiasa waspada menyusul debit sungai Bedadung berpotensi untuk naik dengan ketinggian orang dewasa. Hal tersebut juga dikuatkan dengan hanyutnya seorang warga Kecamatan Sumbersari akibat banjir luapan dari sungai Bedadung. Sebagaimana yang dikutip pada liputan6, banjir di daerah Jember pada bulan Januari 2021 kemarin melanda tujuh kecamatan, di antaranya Bangsalsari, Tanggul, Gumukmas, Puger, Tempurejo, Ambulu dan Jenggawa. Bulan Februari 2021 kemarin, banjir melanda kembali di tiga kecamatan di antaranya kecamatan Ambulu, Wuluhan dan Tempurejo. Hal ini dikarenakan hujan turun dengan intensitas yang tinggi hingga menyebabkan debit air sungai mengalami peningkatan, dan berakibat meluap ke daerah pemukiman warga. Curah hujan yang tinggi ini sudah diprediksi oleh Herizal, Deputi Bidang Klimatologi BMKG, dalam Liputan6 lebih besar dari 300 mm per bulan pada Desember 2020 – Januari 2021. Menurut Dr. Luh Putu Suciati, pakar pertanian dan lingkungan dari Universitas Jember dalam Liputan6, bencana banjir di Jember tidak hanya berasal dari curah hujan ekstrim, melainkan dari kurangnya resapan air akibat pembalakan di TN. Meru Betiri, Jember. Kawasan tersebut diketahui menjadi kawasan penahan air saat hujan. Kondisi hutan yang semakin gundul akibat pembalakan, menyebabkan tidak ada penahan sehingga terjadi banjir.

Faktor lain setelah curah hujan yang menyebabkan banjir di Jember, yaitu La Nina. La Nina merupakan peristiwa anomali cuaca atau iklim yang dapat mempengaruhi curah hujan di suatu wilayah tertentu. La Nina menyebabkan suhu muka laut di Pasifik Ekuator Timur lebih rendah dari pada kondisi normalnya, sedangkan suhu muka laut di wilayah Indonesia menjadi lebih hangat. Hal tersebut mengakibatkan massa udara berkumpul di wilayah Indonesia, termasuk massa udara dari Pasifik Ekuator Timur sehingga menunjang pembentukan awan dan hujan. Pengaruh La Nina secara umum terhadap curah hujan di Indonesia bergerak secara dinamis, dimana pada saat awal kejadian hanya berefek pada sebagian kecil wilayah Indonesia yaitu bagian selatan yang terus bergerak secara dinamis ke seluruh wilayah Indonesia dan berakhir di wilayah Indonesia bagian timur. Jember yang termasuk wilayah Indonesia bagian selatan semestinya dapat terpengaruh oleh fenomena La Nina. Angin pasat timur yang semakin kuat mengakibatkan konvergensi lebih kuat dan menghasilkan hujan yang lebih besar dari biasanya. Oleh karena itu, fenomena La Nina dapat menimbulkan banjir dan tanah longsor, bahkan sering diikuti angin kencang (Fitria, et al., 2013).

Apa saja dampak dari banjir ?

Dampak bencana terhadap kesehatan masyarakat relatif berheda-beda, antara lain tergantung dari jenis dan besaran bencana yang terjadi. Pada saat terjadinya banjir berdampak pada timbulnya masalah kesehatan antara lain berawal dari kurangnya air bersih yang berakibat pada buruknya kebersihan diri, huruknya sanitasi lingkungan yang merupakan awal dari perkembangbiakan beberapa jenis penyakit menular seperti diare, leptospirosis dan demam berdarah. Persediaan pangan yang tidak mencukupi juga merupakan awal dari proses terjadinya penurunan derajat kesehatan yang dalam jangka panjang akan mempengaruhi secara langsung tingkat pemenuhan kebutuhan gizi korban bencana. Sementara itu, pemberian pelayanan kesehatan pada kondisi bencana sering menemui hanyak kendala akihat rusaknya fasilitas kesehatan, tidak memadainya jumlah dan jenis ohat serta alat kesehatan, terbatasnya tenaga kesehatan dan dana operasional (Widayatun dan Fatoni, 2013). Dampak banjir dari segi sosial yang dialami masyarakat di antaranya banyak bangunan tergenang air, akses jalan memburuk, masyarakat mengalami hambatan dalam beraktivitas, ibu rumah tangga sulit memasak dan merawat keluarga, serta sarana dan prasarana umum banyak mengalami kerusakan. Dampak banjir dari segi ekonomi, di antaranya banyak kehilangan benda berharga seperti harta dan surat-surat berharga, pendapatan menurun, hasil panen membusuk dan sebagainya (Yunida dkk., 2017).

Dampak banjir bagi lingkungan adalah kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh banjir antara lain rusaknya pemukiman dan tergenangnya lahan pertanian. Menurut data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jember, Jawa Timur yang terhitung sejak Januari sampai Maret 2021 mengungkapkan bahwa kerusakan paling parah terjadi pada 30 Januari 2021, yaitu sekitar 436 rumah atau pemukiman dan 42 hektare lahan pertanian mengalami kerusakan akibat dampak banjir. Namun, pada dasarnya kerusakan lingkunganlah yang menyebabkan terjadinya banjir. Alih fungsi lahan dan alih fungsi vegetasi di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) menyebabkan debit aliran air sungai terganggu. Ekosistem hutan, DAS dan pohon-pohon yang tumbuh di atasnya sangat penting dalam menjaga air di daerah hulu. Pada lahan dengan tutupan vegetasi yang rapat dan sistem perakaran kuat akan menjadikan fungsi hidrologis atau tata air dari ekosistem tersebut semakin baik, dan hal sebaliknya terjadi apabila tutupan vegetasi berkurang serta banyak tanaman semusim yang ditanam akan menjadikan fungsi hidrologis DAS menurun (Sudarma & Widyantara, 2016).

Bagaimana penanganan banjir?

Pada dasarnya bencana alam seperti halnya banjir sulit untuk dicegah, mengingat banjir merupakan faktor alam. Suatu wilayah ataupun daerah yang terkena banjir harus dilakukan suatu suksesi, yaitu penanggulangan ekosistem kembali yang sudah rusak akibat bencana alam. Penanggulangan bencana bersifat multisektoral, multistakeholder, dan multibahaya, sehingga kunci suksesnya adalah koordinasi dan komando. Namun, koordinasi terkadang memiliki masalah yang kompleks dan tidak mudah untuk diselesaikan oleh satu sektor saja, sehingga kemitraan dan kolaborasi (interoperabilitas) mutlak diperlukan untuk memastikan penanganan atau respon yang tepat dalam penanggulangan bencana (Anam, Mutholib, Setiyawan, Andini, dan Sefniwati, 2018). Penanggulangan bencana yang baik juga harus mempersiapkan tidak hanya untuk fase kedaruratan saja, tetapi juga mempersiapkan kerangka yang baik pada fase sebelum dan sesudah bencana (Yumantoko, 2019). Dengan adanya penanggulangan bencana yang baik dan terkoordinasi, maka akan jelas sektor-sektor yang perlu terlibat, apa yang dapat dilakukan dan bagaimana mekanisme kerjanya. Kerangka koordinasi dalam penanggulangan bencana ini tentu harus dimiliki oleh setiap wilayah di Indonesia, termasuk Kabupaten Jember. dalam rangka pengendalian banjir Sungai Bedadung, perlu dirumuskan beberapa hal seperti penatagunaan lahan, reklamasi dan penyesuaian penggunaan lahan untuk mengendalikan aliran permukaan (surface-run 0ff). Pengelolaan lahan tersebut, harus berbasis pada konservasi tanah dan air melalui pendekatan kolaboratif dengan memeperhatikan potensi SDA setempat dan sesnsitivitas sumberdaya alam (Marhendi,.dkk, 2017).

 

Referensi :

Anam, K., Mutholib, A., Setiyawan, F., Andini, B. A., dan Sefniwati, S. 2018. Kesiapan Institusi

Lokal dalam Menghadapi Bencana Tsunami: Studi kasus Kelurahan Air Manis dan

Kelurahan Purus, Kota Padang. Jurnal Wilayah dan Lingkungan. 6(1): 15– 29.

BPBD Provinsi Jawa Timur. (2021, Januari 30). Peta Kebencanaan. Retrieved from Badan

Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Jawa Timur :

http://files.bpbd.jatimprov.go.id/ [diakses 17 Maret 2021]

Findayani, A. 2015. Kesiap Siagaan Masyarakat dalam Penanggulangan Banjir di Kota

Semarang. Jurnal Geografi. 12(1) : 103 – 114.

Fitria, W., & Pratama, M. S. (2013). Pengaruh fenomena El Nino 1997 dan La Nina 1999

terhadap curah hujan di Biak. Jurnal Meteorologi dan Geofisika14(2) : 65-74.

Sudarma, I. M., & Widyantara, W. (2016). Persepsi Masyarakat Terhadap Ekosistem Daerah

Aliran Sungai Ayung Menuju Sumberdaya Air Berkelanjutan. Bumi Lestari Journal of

Environment16(2) : 78-91

Jurnalis Antara. 2021. Jember Diterjang Banjir dan Longsor, 8 Kecamatan Butuh Bantuan.

https://www.google.com/amp/s/news.okezone.com/amp/2021/01/20/519/2347440/jember

-diterjang-banjir-dan-longsor-8-kecamatan-butuh-bantuan. [diakses 20 Maret 2021]

Kurniawan, D. 2021. Tak Hanya Curah Hujam Ekstrem, Pakar Ungkap Penyebab Banjir Jember.

https://m.liputan6.com/surabaya/read/4477438/tak-hanya-curah-hujan-ekstrem-pakar-

ungkap-penyebab-banjir-jember. [diakses 20 Maret 2021]

Marhendi,. dkk. 2017. Analisis Penyebab Banjir Kali Juana. Jurnal Techno. 18(1): 15-22.

Priyasmoro, M. R. 2020. BMKG : Puncak Musim Hujan di Mayoritas Wilayah Indonesia Terjadi

di Januari – Februari 2021. https://m.liputan6.com/news/read/4431812/bmkg-puncak-

musim-hujan-di-mayoritas-wilayah-indonesia-terjadi-di-januari-februari-2021. [diakses

20 Maret 2021].

Widatun dan Fatoni. 2013. Permasalahan Kesehatan Dalam Kondisi Bencana: Peran Petugas

Kesehatan Dan Partisipasi Masyarakat. Jurnal Kependudukan Indonesia. 8(1): 37-40.

Yumantoko, Y. 2019. Kolaborasi Para Pihak Dalam Penanganan Destinasi Wisata Terdampak

Bencana di Taman Nasional Gunung Rinjani. Jurnal Penelitian Kehutanan. 3(1): 15–28.

Yunida, R., R. Kumalawati dan D. Arisanty. 2017. Dampak Bencana Banjir Terhadap Kondisi

Sosial Ekonomi Masyarakat di Kecamatan Batu Benawa Kabupaten Hulu Sungai

Tengah, Kalimantan Selatan. JPG : Jurnal Pendidikan Geografi. 4(4) : 42 – 52.