Obat yang Diuji Guna Sembuhkan Pasien COVID-19

Setiap hari, pasien positif virus Corona kian bertambah. Namun, antivirus atau vaksin untuk mengatasi virus ini belum juga berhasil ditemukan. Para peneliti pun masih sibuk menelaah obat-obatan yang bisa menangani infeksi virus Corona atau COVID-19.

Virus Corona atau severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) adalah virus yang menyerang sistem pernapasan. Virus ini sangat berbahaya karena bisa menyebabkan pneumonia berat hingga kematian. Hingga kini, belum ditemukan obat khusus yang bisa melawan infeksi virus ini.

Walaupun begitu, para ahli tetap berusaha menemukan kandidat obat yang bisa dimanfaatkan untuk mengatasi COVID-19. Beberapa di antaranya adalah obat-obatan yang dulu pernah digunakan pada wabah SARS dan MERS. Karena virus penyebabnya berasal dari keluarga virus yang sama, diharapkan obat-obatan ini juga bisa mengatasi COVID-19.

Namun, perlu diingat bahwa virus yang menyebabkan COVID-19 adalah virus jenis baru yang berbeda dari coronavirus penyebab SARS ataupun MERS. Oleh karena itu, keampuhan atau efek sampingnya dalam mengatasi COVID-19 belum diketahui secara pasti.

Pemerintah negara bagian New York, di Amerika Serikat, menguji tiga jenis obat yang siap untuk diberikan kepada pasien COVID-19 akibat infeksi virus corona SARS-COV-2 yaitu Remdesivir, Hydroxycloroquine, dan Chloroquine.

Saat ini tengah dilakukan uji klinis terhadap ketiga obat ini oleh pemerintah negara bagian New York di Amerika Serikat. Pasalnya, jumlah kasus COVID-19 di kota itu terus meningkat. Badan obat dan makanan (FDA) AS pun mempersilakan pemerintah kota itu untuk melakukan percobaan untuk mencampurkan obat hydroxychloroquine dengan antibiotik Zithromax. Zitromax juga dikenal sebagai Azithromycin.

Obat Remdesivir

Remdesivir bukan obat baru dan diproduksi oleh perusahaan raksasa farmasi Amerika, Gilead Sciences Inc yang sebelumnya dipakai untuk menguji berbagai penyakit seperti Ebola dan SARS.

Saat wabah virus Ebola dan SARS, obat remdesivir sempat diberikan kepada pasien yang terjangkit. Lalu kembali diuji coba kepada pasien Covid-19.

Untuk membunuh virus corona baru (SARS-Cov-2), remdesivir mesti diberikan secara intravena (metode pemberian obat melalui injeksi atau infus). Namun, obat ini belum disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (US Food and Drug Administration/FDA) karena masih bersifat eksperimental.

Nantinya, obat remdesivir bakal menghambat replikasi virus melalui penghentian dini transkripsi RNA dan mengandalkan aktivitas in-vitro (istilah biologi yang dipakai untuk menyebutkan kultur suatu sel, jaringan, atau bagian organ tertentu) untuk melawan virus corona SARS-Cov-2.

Selain itu, remdesivir juga mengandalkan aktivitas in-vivo (mengacu pada eksperimen menggunakan keseluruhan organisme hidup) terhadap virus corona beta.

Menurut Pusat Pencegahan Penyakit dan Pengendalian AS (Centers for Disease and Control Prevention/CDC), ada tiga opsi untuk mendapatkan remdesivir agar bisa digunakan untuk pengobatan pasien positif Covid-19.

Berikut tiga opsi yang dimaksud:

1. Merujuk pada penelitian dari National Institutes of Health (NIH), remdesivir dapat diberikan kepada pasien berusia 18 tahun atau lebih tua dengan saturasi oksigen (presentasi hemoglobin yang berikatan dengan oksigen di dalam arteri) lebih dari 94 persen.

2. Seseorang yang masuk kriteria eksklusi (terdapat keadaan atau penyakit lain yang dapat menganggu pengukuran atau interpretasi) bisa disebut juga penyakit bawaan, seperti alanine aminotransaminase atau aspartate aminotransminase.

Aspartate aminotransminase sendiri merupakan enzim dari golongan transaminase yang sering dikaitkan dengan kinerja organ hati, jantung, otot rangka, dan ginjal.

3. Bukti radiografi pneumonia dengan saturasi oksigen lebih dari 94 dan berpartisipasi dalam uji klinis ventilasi mekanik atau pembersihan kreatinin (membantu untuk memperkirakan laju filtrasi glomerular/laju kecepatan darah yang mengalir ke dalam ginjal).

Hydroxycloroquine dan Chloroquine

Kedua obat tersebut telah digunakan untuk pengobatan malaria dan kondisi peradangan tertentu seperti lupus.

Menurut situs Badan Kesehatan AS, CDC, hydroxycloroquine dan cloroquine memiliki aktivitas in-vitro terhadap SARS-Cov, SARS-Cov-2 (virus penyebab penyakit Covid-19), dan jenis lain dari virus corona. Khusus hydroxycloroquine, obat ini relatif bekerja lebih baik terhadap virus corona SARS-Cov-2.

Oleh karena itu, obat hydroxycloroquine bakal menjadi andalan negara-negara yang terjangkit Covid-19. Sebagai contoh, Amerika Serikat.

Gedung Putih telah memberikan lampu hijau kepada Gubernur New York Andrew Cuomo untuk menguji obat hydroxycloroquine, cloroquine serta remdesivir sebagai pengobatan Covid-19.

Namun, Indonesia lebih mengandalkan obat cloroquine. Pemerintah pun sudah memesan tiga juta cloroquine menurut keterangan Presiden Joko Widodo pada 20 Maret lalu dalam konferensi pers di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat.

Kendati demikian, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebut obat hydroxycloroquine untuk penyakit Malaria belum tentu bisa menyembuhkan pasien Covid-19.

Zithromax (Azithromycin)

Ini adalah antibiotik yang melawan infeksi bakteri termasuk infeksi pernapasan, kulit, telinga, tenggorokan, pneumonia, dan penyakit kelamin menular.

Efek samping penggunaan obat ini serupa dengan hydrocychloroquine. Pengguna azithromycin bisa mengalami jantung berdebar dengan cepat yang bisa membahayakan, terutama pada orang tua.

Efek samping lain kemungkinan menimbulkan masalah hati, alergi, diare, mual, muntah, sakit perut, dan sakit kepala.

Plasma Konvalensi

Ini adalah jenis pengobatan lain yang tengah diuji di New York, seperti dijelaskan Andrew Cuomo, Gubernur negara bagian New York. Pengobatan alternatif ini telah mendapat persetujuan FDA.

Pengobatan ini sebetulnya teknik awas yang digunakan untuk mengatasi epidemi flu pada 1918. Teknik ini digunakan sebelum vaksi dan obat antivirus ditemukan.

“Pengobatan ini dilakukan dengan mengambil plasma dari orang yang telah terinfeksi virus. Plasma ini lantas diproses dan disuntikkan ke antibodi dari orang yang sakit,” jelas Cuomo, seperti dikutip NBC New York.

“Telah ada pengetesan yang menunjukkan orang yang disuntik dengan antobodi ini bisa meningkatkan sistem kekebalan melawan penyakit. Ini hanya percobaan yang dicoba kepada orang yang sedang kritis.”

New York Blood Center (NYBC) akan jadi pusat darah pertama yang akan mengumpulkan donasi plasma darah dari mereka yang telah sembuh dari Covid-19. Plasma ini akan digunakan untuk mengobati pasien yang tengah kritis.

 

Sumber

cnnindonesia.com

alodokter.com