Waspada Antraks! Kenali Faktor Penyebab, Gejala, dan Cara Pencegahannya

 

Penyakit antraks merupakan penyakit infeksius yang disebabkan oleh Bacillus anthracis yang merupakan bakteri Gram positif yang berbentuk batang dan bersifat zoonosis. Antraks disebabkan oleh bakteri bukan virus (Martindah, 2017). Bakteri Bacillus anthracis termasuk Gram positif, bersifat fakultatif anaerob, dan membentuk spora (Fatmawati dkk., 2018). Bakteri Bacillus anthracis berkembangbiak dengan cara membentuk rantai panjang dalam jaringan tubuh (In vivo) dan biasanya tersusun dengan cara rantai tunggal (Islami dkk., 2021).

Bakteri Bacillus anthracis dapat hidup di lingkungan yang kurang baik dan akan membentuk spora jika mendapat oksigen yang cukup. Spora dapat bertahan hidup pada suhu panas atau dingin, sehingga kontaminasi sulit untuk dikendalikan. Spora ini dapat bertahan hidup sampai berpuluh-puluh tahun di tanah atau pada produk hewani (Islami dkk., 2021). Kontak dengan spora antraks yang ada pada daging, tanah, dan rumput dapat menyebabkan penyakit baik pada manusia maupun hewan, seperti pneumonia, infeksi dalam darah (sepsis) dan kematian (Martindah, 2017).

Antraks sebenarnya bukanlah penyakit menular. Antraks merupakan penyakit infeksius non-contagious yaitu penyakit infeksi yang tidak menular. Hal ini karena tidak dapat menular antar manusia maupun antar hewan. Dengan kata lain, manusia tidak mudah tertular antraks seperti halnya influenza atau flu. Jika seseorang memiliki gejala antraks, tidak akan menularkan kepada siapapun. Manusia biasanya tertular antraks melalui kontak langsung atau tidak langsung dengan produk hewan yang terkontaminasi seperti daging, kulit, tulang dan bahan lain dari hewan yang terinfeksi (Martindah, 2017).

Penyakit antraks terutama menyerang hewan herbivora baik hewan ternak maupun liar seperti sapi, domba, kambing, bison, rusa, kijang, dan kuda nil. Pada spesies tersebut biasanya dapat menyebabkan kematian (Shadomy dkk., 2016). Hewan dapat terinfeksi saat menghirup atau menelan spora yang ada di tanah, tanaman, atau air yang terkontaminasi. Ketika bakteri antraks terpapar oksigen, maka spora akan terbentuk. Spora ini relatif tahan terhadap panas, dingin, dan pH basa (6-7,4). Masa inkubasi biasanya 3-7 hari, tetapi dapat bervariasi antara 1-14 hari tergantung rute paparan dan dosis infeksi. Kejadian penyakit antraks pada hewan ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu curah hujan, musim, iklim, dan suhu lingkungan. Antraks sering terjadi ketika suatu wilayah mengalami musim hujan dan produksi hijauan yang tinggi. Hewan ternak yang digembalakan di padang rumput memiliki potensi besar terinfeksi spora saat makan (Martindah, 2017).

Kejadian antraks pada hewan ternak dibagi menjadi tiga bentuk klinis yaitu per-akut, akut dan sub-akut (Mebratu dkk., 2015). Gejala klinis antraks bentuk per-akut sebelum hewan mati sulit diamati, pada bentuk akut terdapat kesulitan bernafas, demam tinggi, tubuh gemetar dan kondisi fisik hewan cenderung melemah hingga tidak mampu lagi berdiri. Gejala selanjutnya adalah pembengkakan limphoglandula di sekitar tenggorokan. Saat hewan mati, terjadi pendarahan melalui lubang hidung, mulut, anus dan telinga karena darah sulit membeku (Martindah,  2017). Menurut Sudarsono dkk. (2015), ternak yang mati akibat penyakit antraks di dalam darahnya ditemukan sekitar 80% bakteri antraks dan 20%-nya ada di dalam limpa. Infeksi antraks pada hewan hampir mirip dengan yang terjadi pada manusia yakni secara peroral, inhalasi, maupun melalui lesi kulit (Abdelrahman, 2013).

Antraks dapat dicegah dengan pengawasan yang ketat terhadap lalu lintas hewan ternak atau keluar masuknya hewan ternak didalam kandang atau di peternakan. Jika hewan ternak terkena penyakit antraks, maka harus segera dikarantina agar tidak menyebar ke hewan ternak yang lain. Ketika hewan ternak mati karena antraks, maka harus dikubur dengan kedalaman minimal dua meter untuk mencegah hewan ternak yang hidup terinfeksi (Bagenda dkk., 2018). Pengendalian antraks dapat didukung dengan tindakan diagnosis penyakit antraks. Selain diagnosis antraks, ada beberapa kegiatan yang dapat digunakan untuk pengendalian antraks yaitu dengan pengecekan berskala, vaksinasi, deteksi dini, pengobatan hewan ternak yang terjangkit antraks, penyelidikan epidemiologi, penyuluhan terkait antraks dan keamanan pangan asal ternak ruminansia (Martidah, 2017).

 

Referensi:

Abdelrahman. 2013. A Review of the Egyyptian Society of Parasitology. 56(1): 147-66.

Bagenda, I., D. Wiwik, dan W. Y. Dini. 2018. Investigasi outbreak penyakit antraks di kabupaten polewali mandar tahun 2016. Jurnal Litbang. 1(3).

Fatmawati, Mira, S. Ani, Herawati, Aulanni’am, dan C. P. Masdiana. 2018. Penyakit Zoonosis Strategi di Indonesia (Aspek Kesehatan Masyarakat Veleterine). Malang: Penerbit UB Press.

Islami, R., S. F. Zahra, P. Yuniastuti, P. E. A. Pranata, M. Sefi, dan D. C. Widianingrum. 2021. Pengetahuan, kebijakan, dan pengendalian penyakit antraks pada ternak di Indonesia. Jurnal Peternakan Sriwijaya. 10(2): 1-8.

Martindah, E. 2017. Faktor risiko, sikap dan pengetahuan masyarakat peternak dalam pengendalian penyakit antraks. WARTAZOA. 27(3): 135-144.

Mebratu, A. T., Z. Hailu, and Y. H. Weldearegay. 2015. A retrospective survey and assessment of farmers indigenous knowledge on anthrax in and around Tanqua-Abergelle District, Northern Ethiopia. Acad J Anim Dis. 4:10-16.

Shadomy S., A. El Idrissi, E. Raizman, M. Bruni, E. Palamara, C. Pittiglio, and J. Lubroth. 2016. Anthrax outbreaks: A warning for improved prevention, control and heightened awareness. Rome (Italy): FAO.

Sudarsono, I., W. B. Prijono, dan A. Handoko. 2015. Tindak lanjut wabah antraks di Kabupaten Blitar. Buletin Laboratorium Veteriner. 15:10-16.

Categories: